[Latest News][6]

Atjeh 2050
Cemerlang
Contact
Dayah
Education
Ekonomi
History
Indonesian
Internasional
Lifestyle
Media
News
Politic
Politics
Prosa
Puisi
Purnama
Religions
Social
Stories
Successs
Tafakur
Tastafi

Charles Bidien - Potret diaspora Aceh yang berperan di panggung internasional

Charles Bidien: Jejak Aktivis Buruh Aceh Pejuang Kemerdekaan Indonesia di Panggung Dunia yang Terlupakan

Charles Bidien (tengah) bersama jaringan internasional di New York | Foto: Arsip Historia

International – Namanya tak setenar Hasan Tiro. Tak tercantum di buku-buku sejarah resmi. Jarang pula terdengar dalam percakapan generasi muda. Namun, seperti Hasan Tiro, Charles Bidien adalah putra Aceh yang pernah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari New York, Amerika Serikat.

Nama Charles Bidien hampir bisa dipastikan bukan nama aslinya. Nama itu menggabungkan nuasa Barat dan Aceh. Boleh jadi Bidien menempat kata Charles di depan namanya agar lebih akrab dikuping orang Amerika. 

Meski tak muncul dalam sejarah Indonesia dan Aceh, nama pria asal Meureudu, Pidie itu, adalah salah satu figur penting yang ikut mengisi bab awal diplomasi kemerdekaan Indonesia di Amerika Serikat pada dekade 1940-an. Jejaknya bisa ditelusuri lewat tulisan, arsip surat, literatur akademik, dan kesaksian sejarah yang kini tersebar di berbagai perpustakaan dunia.
 

Dari Aceh ke Amerika


Charles Bidien lahir di Aceh pada awal abad ke-20. Tidak banyak yang diketahui tentang masa kecil dan pendidikan awalnya. Namun, dari berbagai catatan, diketahui ia berangkat ke Amerika Serikat sekitar tahun 1920-an atau 1930-an, bergabung dengan gelombang perantau Asia yang mencari peluang pendidikan dan kehidupan baru.

Bidien kemudian menetap di New York dan aktif membangun jaringan dengan kalangan akademisi, jurnalis, hingga aktivis politik. Ia ikut menyuarakan isu kemerdekaan bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia yang saat itu masih berada di bawah cengkeraman kolonial Belanda.
 

Indonesian Review: Suara dari Amerika


Jejak paling jelas Charles Bidien muncul lewat majalah Indonesian Review, sebuah publikasi berbahasa Inggris yang terbit di Amerika Serikat pada awal 1940-an. Melalui media ini, Bidien bersama rekan-rekannya menyuarakan aspirasi kemerdekaan Indonesia, menjelaskan situasi politik di tanah air, serta menggalang simpati masyarakat internasional.

Publikasi ini bukan sekadar buletin biasa, melainkan strategi diplomasi kultural. Dengan bahasa Inggris yang rapi, Bidien menyajikan berita, analisis, hingga opini yang ditujukan untuk kalangan pembuat kebijakan, wartawan, dan aktivis di Amerika. Tujuannya sederhana: meyakinkan publik Barat bahwa Indonesia layak merdeka dan berdaulat.

Arsip Indonesian Review kini dapat ditelusuri melalui katalog daring sejumlah perpustakaan , termasuk Universitas Amherst di Massachusetts (Amerika Serikat), University of California Press, Cornell University LibraryUniversity of Michigan, dan Library of Congress.
 

Surat kepada W.E.B. Du Bois

Salah satu arsip penting tentang Bidien tersimpan di W.E.B. Du Bois Papers, University of Massachusetts Amherst. Pada 29 Maret 1945, Charles Bidien menulis surat kepada Du Bois, tokoh besar gerakan Pan-Afrika di Amerika. Dalam surat itu, Bidin menyatakan kesediaannya hadir dalam Konferensi Kolonial yang membahas nasib bangsa-bangsa setelah Perang Dunia II. Bidin menawarkan kerja sama intelektual antara perjuangan anti-kolonial Indonesia dan gerakan hak sipil di Amerika.

Dalam surat itu, Bidien menegaskan pentingnya solidaritas antarbangsa terjajah. Ia juga menekankan bahwa kemerdekaan Indonesia, termasuk Aceh di dalamnya, harus menjadi bagian dari agenda internasional. Baginya, jika dunia hanya mengganti wajah kolonialisme Eropa dengan bentuk penjajahan baru, perjuangan rakyat tidak akan pernah selesai.

Surat ini menunjukkan betapa Bidien tidak hanya memikirkan Indonesia, tetapi juga melihat perjuangan kemerdekaan sebagai bagian dari solidaritas global. Ia mengaitkan kolonialisme Belanda dengan isu penindasan rasial yang dihadapi warga kulit hitam di Amerika.

Dalam tulisan dan catatan lain yang tersisa, Bidien mengungkapkan pandangan tajamnya tentang kolonialisme. Ia menyebut bahwa kemerdekaan sejati tidak boleh berhenti pada pengibaran bendera, tetapi harus disertai dengan kedaulatan ekonomi, politik, dan kebudayaan.

“Jika dunia hanya mengganti penjajah kulit putih dengan bentuk dominasi baru, maka bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia, tetap tidak akan merdeka,” tulis Bidien dalam salah satu pemikirannya. Pandangan ini terasa relevan hingga kini, ketika banyak negara bekas jajahan masih berhadapan dengan bentuk ketergantungan baru.
 

Interniran Indonesia di Amerika: Kisah yang Jarang Tercatat

Kisah lain yang memperkaya pemahaman tentang Bidien muncul dari penelitian Nichi Bei Foundation. Dalam artikel “The Great Unknown and the Unknown Great: The Incarceration of Indonesians in the United States — An Untold Story” (2015), dijelaskan bahwa sekitar 200 orang Indonesia sempat ditahan di Amerika Serikat selama Perang Dunia II.

Mereka adalah para buruh kapal Belanda yang yang didukung buruh pelayaran AS. Dipimpin Charles Bidien, mereka melakukan aksi pemogokan serta demonstrasi di New York. Gerakan ini berhasil memboikot sekitar 11 kapal Belanda yang hendak mengirimkan alat-alat perang dan logistik untuk serdadu Belanda yang ada di Indonesia. Mereka termasuk dalam kategori “enemy aliens” karena dianggap berasal dari wilayah jajahan Belanda yang sedang diduduki Jepang.

Jejak Arsip yang Masih Bisa Ditelusuri

Sejumlah arsip di perpustakaan universitas Amerika, seperti Cornell University Librarydan Library of Congress, menyimpan koleksi langka terbitan Indonesian Review. Melalui arsip-arsip inilah jejak Bidien bisa ditelusuri lebih jauh. Sementara itu, Nichibei.org memberikan bukti bahwa Bidien secara aktif menyoroti masalah pengiriman alat perang Belanda melalui buruh pelayaran, serta mengorganisir dana solidaritas dari luar negeri—sebuah catatan penting tentang strategi perjuangannya.

Nama Charles Bidien ternyata tidak hanya muncul dalam arsip surat atau majalah lama, tetapi juga tercatat dalam sejumlah kajian akademik bergengsi.

Sebuah artikel ilmiah berjudul Indonesians in the United States before World War II karya Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg, yang terbit dalam jurnal Indonesia (Cornell University, 2002), menyebut Bidien sebagai editor Indonesian Review di New York. Dalam terbitan itu, Bidien dengan lantang menuding kebijakan Sekutu yang mendukung Belanda sebagai bentuk “fasisme” baru, dan menyerukan solidaritas internasional untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.

Lebih jauh ke belakang, kajian klasik berjudul “Indonesia’s American Frontier: Protest, Politics, and Diplomacy” yang ditulis oleh Jane Kate Leonard (Cornell University Southeast Asia Program, 1971) menempatkan Bidien dalam jaringan diaspora Indonesia di Amerika Serikat. Leonard menggambarkan perannya dalam menjembatani mahasiswa, pelaut, dan aktivis lewat publikasi dan forum solidaritas sejak pertengahan 1940-an.

Sementara itu, dalam The Cambridge History of Southeast Asia, Volume 2 (Cambridge University Press, 1999), sejarawan Nicholas Tarling juga menyinggung sekilas peran Bidien. Di sana, Indonesian Review disebut sebagai salah satu instrumen penting diplomasi kemerdekaan Indonesia di Amerika, dengan nama Bidien tercatat sebagai editornya.

Konsistensi penyebutan ini di berbagai literatur akademik menunjukkan bahwa Charles Bidien bukanlah sosok fiktif atau sekadar catatan pinggiran. Namanya hadir berulang kali dalam riset ilmiah yang terbit di tiga dekade berbeda—dari 1970-an hingga awal 2000-an. Jejaknya, meski tak selalu panjang, cukup untuk memastikan bahwa ia adalah bagian nyata dari upaya diaspora Indonesia memenangkan opini dunia.


Akhir Hidup di Kalibata


Setelah puluhan tahun hidup di Amerika Serikat dan aktif dalam diplomasi kemerdekaan Indonesia, Charles Bidien kembali ke tanah air. Pada akhir 1960-an, ia tinggal di kawasan Kalibata, Jakarta. Media historia.id pernah memuat kesaksian tetangganya bernama Mohammad Ali. Disebutkan, akhir hidup Charles Bidien berakhir tragis: menjadi penjual obat jalanan dan meninggal gantung diri di pohon rambutan.

Ingatan samar warga menjadi salah satu jejak terakhir tentang sosok yang pernah memainkan peran penting dalam diplomasi Indonesia di luar negeri, tetapi kemudian terlupakan dalam sejarah arus utama. Bagi Aceh, warisan Bidien menjadi pengingat, bahwa di Amerika sana, pernah ada seorang putra Aceh ikut “bergerilya” di meja-meja diplomasi internasional untuk kemerdekaan Indonesia.[]


https://www.historia.id/article/ode-pejuang-yang-kesepian



Atjeh Post

Jadilah seperti pohon kayu yang lebat buahnya, tumbuh di tepi jalan. Dilempar buahnya dengan batu, tetapi tetap dibalas dengan buah.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search