[Latest News][6]

Atjeh 2050
Cemerlang
Contact
Dayah
Education
Ekonomi
History
Indonesian
Internasional
Lifestyle
Media
News
Politic
Politics
Prosa
Puisi
Purnama
Religions
Social
Stories
Successs
Tafakur
Tastafi

Bayang di Balik Singgasana

Oleh: Pang Muda
(Anak radio yang merindukan perubahan)

Di sebuah tanah yang pernah menyimpan suara dentuman senjata dan doa yang panjang, seorang lelaki berdiri di puncak sejarahnya. Ia pernah disebut “panglima,” lalu “pemimpin.” Di matanya, masa lalu masih hidup: hutan, kawan yang gugur, dan janji-janji yang belum seluruhnya ditepati.

Dulu, rakyat memandangnya dengan harapan yang nyaris religius. Ia seperti perpanjangan tangan sejarah — seorang anak dari luka yang diutus untuk memulihkan marwah negeri itu. Setiap katanya disambut takbir dan air mata. Ia menjadi simbol keadilan bagi mereka yang pernah dibungkam dan terluka.

Namun waktu bergerak seperti air: mengikis tebing, memudarkan prasasti. Lelaki itu kini duduk di singgasana yang dikelilingi banyak wajah baru — wajah-wajah yang lebih banyak tersenyum kepada kekuasaan daripada kepada kebenaran. Di sekelilingnya, mereka berbisik, menyusun strategi, menghitung kesetiaan, dan menanam pengaruh.

Lalu kabar berembus: seseorang yang setia disingkirkan, diganti oleh sosok yang lebih dekat — sangat dekat — hingga batas rumah tangga. Di sudut lain, seorang pejabat tinggi yang juga memimpin cabang olahraga tertentu mendapat pesan halus: arahkan kekuatan, menangkan si calon yang diinginkan. Tak ada perintah tertulis, tapi semua tahu arah angin.

Rakyat di bawah mulai berbisik, mula-mula pelan, lalu makin lantang:
“Apakah ini perjuangan, atau permainan?”

Bagi mereka, peristiwa itu bukan sekadar politik. Ia seperti cermin yang retak — memantulkan wajah seorang pemimpin yang dulu dijunjung, tapi kini tampak samar di balik bayangan kekuasaan.

Malam-malam di warung kopi menjadi ajang tafsir.
Ada yang membela: “Ia manusia juga, berhak mengatur rumahnya sendiri.”
Ada yang sinis: “Dulu dia bicara tentang rakyat, sekarang dia hanya mengatur kursi.”
Namun di balik semua itu, ada rasa kehilangan yang tak terucap — semacam kesedihan ketika simbol mulai pudar sebelum sempat menjadi legenda.

Generasi muda kini tumbuh tanpa beban romantika masa perang. Mereka tak mengenal debu hutan, hanya mengenal debu jalan kota. Bagi mereka, politik bukan lagi tentang darah dan sumpah, melainkan tentang gagasan, integritas, dan harapan baru.

Dan di mata generasi inilah, bayangan sang pemimpin mulai tampak seperti kisah lama yang diulang terlalu sering.

Suatu sore, lelaki itu menatap laut — laut yang dulu menjadi saksi pengorbanan. Di matanya, gelombang masih sama, tapi riak hatinya berbeda. Ia tahu, sejarah bukan hanya tentang menaklukkan musuh, tapi juga tentang menaklukkan diri sendiri.
Mungkin itu pertempuran yang paling sulit: ketika musuh tak lagi di luar, melainkan di dalam lingkaran sendiri.

Bagi banyak orang, ia tetap sosok besar. Tapi kebesaran sejati bukan diukur dari berapa lama seseorang bertahan di puncak, melainkan dari seberapa jauh ia berani turun demi menyelamatkan makna.

Di malam yang sunyi, seseorang menulis di buku catatannya:

 “Seorang pemimpin bisa jatuh bukan karena dikalahkan, tapi karena lupa mengapa dulu ia berjuang.”

Dan di tanah itu — tanah yang pernah bergetar oleh suara perlawanan — gema kalimat itu masih terdengar pelan, seperti doa yang belum selesai.
Mungkin, di balik segala bayang kekuasaan itu, masih tersisa satu ruang kecil di hati sang pemimpin — tempat di mana nurani masih menunggu untuk ditemukan kembali (••• )


Atjeh Post

Jadilah seperti pohon kayu yang lebat buahnya, tumbuh di tepi jalan. Dilempar buahnya dengan batu, tetapi tetap dibalas dengan buah.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search